Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 02 Juni 2009

Mafia Intelektual

Orangnya sederhana. Ciri orang yang sederhana adalah, biasanya, juga pemalu. Saking pemalunya, bahkan sering dianggap orang ‘minderan’.
Dia atas semua itu, ia adalah seorang ‘Jawa tulen’. Di luar malu, tetapi di dalam sebenarnya mau. Pura-pura malu, tapi mau.
Yang paling menonjol dalam dirinya adalah ‘nasib baik’-nya dalam hal olahraga, khususnya futsal. Dalam pertandingan futsal manapun, ia selalu menjadi bintang, walau bukan yang paling terang. Spesialis dalam menggiring bola, tetapi lebih suka menjadi back. Dia adalah tipikal orang yang pantas bermain dalam tim all-star.
Namun, tidak banyak orang tahu tentang ‘nasib baik’-nya yang lain. Ada kebolehannya yang lain selain di lapangan.
Ketika anak sekelas berkutat dengan soal-soal rumit plus memerlukan penghitungan yang cermat dan saksama—yang antara lain bisa ditunjukkan dengan dalamnya kening berkerut—dalam suatu pelajaran dan/atau pengajar yang killer, dia malah santai-santai. Ditambah cengengesan lagi, seolah ingin menunjukkan pada teman-temannya bahwa ia punya gigi. Ternyata ia sudah tahu jawabannya. Sedihnya, jawabannya ternyata sama dengan yang dimaksudkan si pembuat soal.
Saya heran, kenapa ia bisa menyelesaikan soal dengan mudahnya. “Kalau udah biasa, Wo, semua itu bisa,” katanya. Benar-benar jawaban ‘ajaib’ dari seorang jago futsal.
Sungguh, ia merupakan orang yang bisa menyeimbangkan ‘kemampuan’ yang bagi sebagian orang sangat susah untuk disandingkan. Jadilah ia, katakanlah, seorang atlet yang ilmuwan.
Begitulah Mochamad Oktaviadi saya potret menurut pemahaman saya pribadi. Kawan kita yang satu ini biasa dipanggil Netty (kenapa bisa ia dipanggil Netty memerlukan pembahasan tersendiri dan (seharusnya) ada izin terulis dari yang bersangkutan; sedikit orang tahu alasannya, kecuali ‘kalangan’ tertentu), Amad (ini adalah panggilan menurut versinya sendiri; artinya ia berharap untuk dipanggil seperti ini), atau Via (sepertinya yang memanggilnya seperti ini cuma satu orang: Pak Edi, guru matematika kelas 2). Saya dan sebagian besar temannya (bahkan menurut saya semua temannya) lebih suka memanggilnya Netty. Apa sebab? Dari ketiga panggilan tersebut yang terkesan lebih ‘menganiaya’ adalah Netty. Di situlah kelemahan kita sebagai bangsa. Suka memilih yang paling buruk di antara semua pilihan yang baik.
Netty ini terkesan menutup-nutupi (atau tidak mau membanggakan diri?) ‘kebolehannya’ ini pada teman yang lain. Tidak banyak anak tahu bahwa teman mereka yang terkadang mereka remehkan (karena sering terlihat bingung, menyepelekan pelajaran, atau intinya: lebih bodoh daripada mereka) ternyata adalah seseorang yang jauh tingkat kecerdasannya di atas mereka. Banyak anak terjebak oleh tampilan luar sehingga tidak jeli melihat tampilan dalam dan/atau tampilan sesungguhnya Netty.
Mereka terjebak paradigma “pintar olahraga tentu tidak akan pintar pula pelajarannya”. Pandangan semacam ini benar-benar membelenggu sehingga benar-benar akan membuat kearifan kita tumpul. Berpikir “semua itu relatif” adalah pemikiran yang pas.
Terdapat sisi intelek dalam dirinya, yaitu kemampuannya untuk memecahkan sampai tuntas. Ada suatu ‘semangat’ yang ia tunjukkan seperti halnya saat ia main futsal. Kecepatannya dalam berpikir, ketelitiannya, semua itu membangun konstruksi pemecahan soal yang lebih efektif.
Terkadang sifatnya yang tidak mau mengakui kelebihannya, tidak suka membanggakan diri, tidak mau orang mengetahui kebolehannya, menghalanginya untuk bersinar seterang yang seharusnya. Tetapi bukankah hal ini lebih baik daripada orang yang suka mengagung-agungkan sesuatu yang tak dimilikinya atau, lebih parah lagi, bukan miliknya?

♠♠♠
Arifin Setiawan adalah seorang intelek murni. Pakaian yang dikenakannya selalu rapi: baju dimasukkan, berikat pinggang hitam, rambut tersisir klimis. Dialah tipikal orang yang (mungkin) dijadikan penanda bagi ‘lelaki parlente’ (zaman dulu).
Dengan kumis klimis yang menghiasi wajahnya yang ramah, teduh, dan innocent (sehingga tampak mudah ditipu), sempurnalah julukan (atau ejekan?) India face yang disematkan padanya. Beneran, jika Anda melihat dari dekat ataupun jauh, memakai teropong ataupun sedotan, pastilah Anda akan menyimpulkan ada anak India nyasar dalam ‘anak-anak pribumi’. Dan itu adalah Arifin Setiawan.
Karena kegemaran mayoritas dari kita, yang lebih suka pada ‘yang buruk-buruk’ daripada ‘yang baik-baik’, nama bagus Arifin Setiawan menjadi tak berarti, digantikan panggilan yang agak ‘tua’: Pakpin.
“Pin” kita tahu, pastilah diambil dari kata “Arifin”. Lidah Jawa yang ndesa membuatnya berubah menjadi “Aripin”. Kemalasan kita mengucapkan kata panjang akhirnya berbuah “Pin”. Lalu, kenapa bisa ditambahi embel-embel “Pak”? Wallahu a’lam bisshawab, mungkin karena penampilan si Pakpin. Kita selalu menganggap kerapian itu ciri kedewasaan, dan kedewasaan itu ciri ketuaan, dan “Pak” adalah komponen tidak langsung dari ketuaan. Betul, tidak?
Pakpin rapi berpakaian, ‘rapi’ juga otaknya. Dia terkenal di kelas karena kemudahannya menangkap inti pelajaran, utamanya Fisika. Semua anak kelas tiga—yang di kening mereka tertulis jelas: “aku harus lulus UAN”—sangat was-was pada pelajaran satu ini. Pakpin inilah pegangan yang jarang sekali mengecewakan mereka. “Kamu harus tahu konsepnya, Bung,” begitulah Pakpin selalu berpetuah.
Pakpin selalu konsisten dengan jawaban yang diberikannya bila ada anak membawakan soal padanya. Jika ada teman yang kebetulan berpendapat beda, akan ia ajak debat. Si fulan merasa jawabannya A, tetapi Pakpin yang menganggap jawabannya E terus ngotot. Dia tak mau kalah (/mengalah). Terkadang, semua orang tahu bahwa jawaban yang diberikannya keliru, dan kawan kita satu ini cuma memasang senyum, seolah ingin berkata, “Salah sedikit nggak papa, kan?”
Sebuah ‘kearifan’?
♠♠♠
Lihatlah cara lelaki itu berjalan. Iya, anak itu, yang pake gelang di pergelangan tangannya. Gelang karet hitam. Lihat gaya jalannya. Anak lelaki itu berjalan memakai tumit. Terlihat seperti mau terbang kan dia? Ujung celananya dibuat kecil kan? Itu mode tahun sekarang, ya? Lihat bajunya juga. Dari depan, kau tak akan melihat baju belakangnya dikeluarkan sedikit. Ikat pinggangnya ditonjolkan kepalanya. Terus naik ke atas. Wajahnya menurutmu bagaimana? Standarkah? Iya, murni orang Indonesia. Lihat rambutnya. Kau pasti akan langsung mengenali gaya rambut apa ini. Ya, betul. Mohawk.
Dwi Iswanto memang selalu ingin terlihat gaul. Deskripsi di atas pasti akan langsung menyajikan kepada Anda orang seperti apa dia. Tapi tunggu, saya belum selesai.
Lihat auranya. Kok mingkem terus ya dia? Jangan dekat-dekat, bisa-bisa kau dimakannya. Nggak apa-apa, dia mingkem terus kan? Mungkin pendiam. Apa benar pendiam?
Coba dekati. Masuklah ke kelasnya. Wanto terlihat asyik bercanda. Orang yang duduk di sebelahnya sepertinya saya kenal. Oh ya, dia Pakpin. Terus, di belakangnya ada Netty. Kenal juga kan?
Tunggu, sepertinya lagi ada perang kata-kata nih. Netty jadi korban. Teman sebelah Netty bahagia benar rupanya. Teman kita Wanto sepertinya pintar ‘menyerang’ orang. Apa yang kau katakan, To?
Teman kita ini tertangkap basah pintar berhumor. Dengar betapa kerasnya teman sebelah Netty tadi tertawa. Satu poin kita dapatkan: selain gaul, Wanto punya selera humor tinggi.
Seingat saya, ketika kelas dua satu dulu, saya mengenalnya dengan nama Yanto. Hehe, ternyata namanya yang benar Wanto. Ceritanya bagaimana kok bisa dipanggil Yanto? Karena Pak Mul budeg, begitu akunya, polos.
Mungkin ketika saya memaparkan deskripsi saya awal tadi, Anda mengira teman kita ini ‘anak nakal’. Wajar saja, saya maklum. Kebanyakan dari kita memang terlalu mudah menganggap orang dengan tampilan seperti itu dengan anak nakal. Padahal sebenarnya belum tentu. Nakal bukan cuma berorientasi pada penampilan. Lihat birokrat-birokrat kita di DPR. Tampilannya nggak nakal, kan?
Maka, Wanto (yang saya tulis namanya di kontak hape: W/Y-anto) adalah keunikan tersendiri yang patut dikaji. Lengkap sudah aktor kita, Netty yang ndesa, Pakpin yang parlente, dan Wanto yang blingsatan.


Kamis, 30 Oktober 2008

Papan Itu




.papan itu..

.diam-diam punya kenangan

.mungkin kalian lupa, sobat-sobatku

.kenangan tahun terakhir kita di esema



.papan itu..

.menyimpan berjuta cerita

.cerita tentang Okta 'netty' yang, entah sengaja entah tidak,
menjadi maskot kelas kita karena keamit-amitan tingkahnya

.cerita tentang Tain 'unyil' yang anak emasnya Pak Yitno

.tentang Wanto 'mbah wik' yang berprinsip 'mengalir seperti air'

.tentang Arifin ‘pakpin’ yang jadi idolanya Bu Grace karena wajah indianya

.tentang Putri 'ciput' yang tomboy en suka melakukan hal-hal yang tidak terduga

.tentang Venti yang berjuang keras untuk meraih EfKa (en akhirnya mendapatkannya)

.tentang Arie 'chen' yang jago Fisika en sepakbola

.tentang 'bang' Ronal yang suka melobi kelas lain (buat mempromosikan kelas kita mungkin..)

.tentang Ayyub 'ajub' yang hobi mengerjakan soal pas istirahat

.tentang Mutia 'petek' yang jadi "teman"nya si 'bang'

.tentang Rachel ‘boncel’ yang digosipin sama anak ia-7 berinisial R

.tentang Alberti 'bertong' yang sering digosipkan dengan Pak Eko

.tentang Alvira yang teman sebangkunya Dea

.tentang Dea ‘deo’ yang teman sebangkunya Alvira

.tentang Dewi 'iwedz' yang "teman tapi mesra"-nya Dimas

.tentang Dimas 'gembuz' yang mengidolakan 'iwedz'

.tentang Andi yang suka ngupil (katanya biar fresh!)

.tentang Novi yang selalu sibuk buat kelas kita tercinta

.tentang Ezra ‘pak baqoh’ yang membisniskan teman-temannya en jadi sesepuh kelas

.tentang Wiweka 'wewek' (bacanya sambil menirukan orang muntah) yang berjuang sampai titik darah penghabisan buat meraih tujuan

.tentang Musa yang kebelet banget jadi dokter

.tentang Grace yang superdiselipin, eh superdisiplin

.tentang Peni ‘phephen’ yang selalu duduk di depan en jadi anak kesayangan guru

.tentang Icha yang jago Inggris

.tentang Puji yang menjadi penengah antara Grace en Peni en Icha

.tentang Yulia ‘jupe’ yang ngga tau kenapa disebut ‘jupe’, pdahal namanya adalah Yulia Putrika

.tentang Intan ‘adek’ yang gampang dikerjain

.tentang Dana ‘duit’ yang selalu bersama Intan (thanks buat pestanya..)

.tentang Ratna yang selalu ngaca setiap saat (menurut pengakuan en pengamatan seksama Andi en Dimas)

.tentang Arianiyang digosipin sama Ezra

.tentang Banin ‘bann’ yang sering dikira ibu-ibu

.tentang Inka yang pinter Fisika

.tentang Tiwi yang jilbaban

.tentang Syldha yang anak Bantul

.tentang Ika yang anak pramuka

.tentang Retty yang ‘mbagbos’ bagi ‘netty’

.tentang Anung yang digosipin terus sama Andi





.papan itu..

.akankah terus ada

.walau kita telah berpisah

.meneruskan perjalanan hidup kita

.sampai kita menjadi orang

.yang kita cita-citakan saat di esema



.papan itu..

.semoga menjadi kenangan

.dalam hati kita yang terdalam

.ingatlah, sobat-sobatku

.kita dulu pernah bernaung pada tulisan di papan itu

.sampai kapan pun

.aku tak akan pernah melupakan kalian












[A. P. Edi Atmaja]


Absen 01

Kelas XII-IA-6 a.k.a teXas

Momen Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan:

Pekan ini adalah pekan yang bersejarah bagi kita. Pada pekan ini ada dua momen yang sangat bersejarah bagi bangsa kita. Yang pertama tentu saja adalah Sumpah Pemuda yang jatuh tanggal 28 Oktober lalu. Tanggal ini tentu mengingatkan kita akan peran serta para pemuda dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Saat itu seluruh pemuda bersatu demi terwujudnya tujuan bersama, yaitu kemerdekaan. Momen bersejarah kedua adalah Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November nanti. Momen ini pasti mengingatkan kita akan perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan. Kedua momen inilah yang mempunyai nilai historis cukup besar bagi bangsa dan negara kita.

Sebagai pemuda, kita pasti tak lupa pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Ini adalah suatu manifestasi perjuangan para pemuda yang sangat berarti. Bisa kita bayangkan betapa para pemuda dulu berani dengan tegas mengadakan suatu rapat yang jelas-jelas menentang kekuasaan pemerintah saat itu. Keberanian ini adalah murni keberanian karena rasa cinta pada tanah air. Rasa tidak rela atas penjajahan yang dialami bangsanya. Penjajahan yang membuat rakyat menderita dan kemerdekaan seakan-akan adalah sesuatu yang mudah dirampas.

Hari Pahlawan 10 November adalah pengingat bagi kita akan perjuangan leluhur kita meraih kemerdekaan. Kita pasti tak lupa pada Pertempuran 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api di Bandung, Pertempuran Lima Hari di Semarang, dan pertempuran-pertempuran melawan penjajah lainnya yang meminta korban harta dan nyawa yang tak sedikit bagi para pahlawan. Semua ini hanya buat kemerdekaan bangsa. Jangan lupalah kita bahwa kemerdekaan yang kita nikmati ini adalah benih dari perjuangan pendahulu kita.

Lalu, setelah kita merdeka, apakah peran pemuda ini masih akan terus berlanjut? Hal inilah yang mesti kita cari jawabannya. Semangat pemuda mestinya tak akan pernah padam sampai kapan pun. Semangat dalam memperjuangkan kesejahteraan bangsa seharusnya selalu kita kobarkan dalam dada kita.

Penduduk Indonesia 75 persen adalah pemuda. Maka sudah selayaknyalah kita mau mulai memikirkan nasib bangsa dan negara kita tercinta. Walaupun secara lahiriah Indonesia sudah bukan negara terjajah lagi, tapi secara batiniah Indonesia adalah negara terjajah. Indonesia seakan tak berkutik jika berseberangan pendapat dengan negara lain. Mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, Indonesia tak berdaya saat berhadapan dengan Malaysia. Diplomasi dan kedaulatan Indonesia sangat rapuh.

Begitu juga dalam bidang budaya. Kenapa budaya asing yang buruk bagi kita dengan mudah masuk dan menjamur di sini, sedangkan budaya sendiri yang baik bagi kepribadian kita tidak terurus dan malah diserobot oleh negara lain? Apakah bangsa ini sudah lupa akan jati dirinya? Banyak di antara kita mungkin lupa atau bahkan jijik jika memainkan alat musik murni bangsa sendiri, yaitu gamelan. Sedangkan di negara lain, gamelan kita dipelajari serius dan disukai oleh banyak orang. Bukankah ini ironis?

Oleh sebab itu, marilah kita sebagai pemuda yang merupakan generasi penerus bangsa ini memikirkan baik-baik masa depan bangsa ini. Kita adalah agen perubahan, agent of change, karena masa depan bangsa terletak di tangan kita. Mari kita bekerja keras buat bangsa ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang pemuda-pemudanya mau bekerja keras. Mari kita pertebal rasa nasionalisme kita. Pemuda adalah generasi harapan bangsa. Kemajuan negara selain terletak pada pemimpinnya, juga terletak pada para pemudanya.

Mungkin kita sebenarnya butuh keteladanan yang baik mengenai hal ini. Janganlah kita tiru sikap birokrat-birokrat kita yang lupa dengan rakyat dan malah menyengsarakan rakyat. Momen Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan bukankah sesuatu yang sangat baik untuk kita contoh? Mari kita jadikan momen ini sebagai pengingat sekaligus teladan bagi kita untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Mari kita lanjutkan dan tidak menyianyiakan kemerdekaan yang diperjuangkan para pendahulu kita.





oleh
A. P. Edi Atmaja

Minggu, 26 Oktober 2008

Hitomi no Juunin [oleh L'Arc~en~Ciel]

Kazoe kirenai demo sukoshino
Saigetsu ha nagare
Ittai kimi wo kotowo dorekurai
Wakatterunokana
Yubisaki de chizu tadoru youniha
Umaku ikanaine
Kizuiteiruyo fuan souna kao
Kakushiteru kurai

Isogi ashi no ashita
Heto teikou
Suruyouni
Kake mayotte temo
Fushigina kurai
Kono mune ha kimi wo egakuyo

Miagereba
Kagayaki ha iroasezu
Afureteita
Donna toki mo terashiteru
Ano taiyou no youni naretanara

Mou sukoshidake kimi no nioi ni
Dakarete itaina
Soto no kuuki ni kubiwa wo hikare
Boku ha se wo muketa

Shiroku nijinda
Tameiki ni shirasareru
Toki wo kurikaeshinagara
Futo omounosa
Naze boku ha kokoni irundarou

Soba ni ite zutto kimi no egao wo
Mitsumeteitai
Utsuriyuku shunkan ha sono
Hitomi ni sunde itai
Dokomademo odayakana shikisai ni
Irodorareta
Hitotsu no fuukeiga no naka
Yorisouyouni toki wo tomete hoshii
Eien ni

Soba ni ite zutto kimi no egao wo
Mitsumeteitai
Utsuriyuku shunkan ha sono
Hitomi ni sunde itai
Itsuno hi ka azayakana kisetsu heto
Tsuredasetara
Yukiniyouni sorani saku
Hana no motohe
Hana no motohe

[posted.vo.Cielers.on.Mangkang.City]

Jumat, 24 Oktober 2008

Membebek Teman, Baguskah?

"Aku gag peduli semua orang di seluruh dunia benci dan menjauhiku. Aku masih punya Allah yang akan selalu menjadi pelindungku dan tempat berserah diri.."

Kalimat di atas terlontar dari mulut Edho menanggapi kebimbangan saya. Sebenarnya perlukah kita selalu membebek semua tingkah sekelompok orang hanya supaya sekelompok orang tersebut mau berteman dengan kita?

"Hm, jiwa kaya gitu masi kamu tanam dalam-dalam? Ingat, Man, kita ini udah kuliah. Kuliah beda sama Esema.." lanjut Edho.

Selama ini kita selalu terlalu berjiwa 'pengikut'. Apa yang orang lakukan itulah yang kita lakukan. Apakah kita tidak berpikir, yang dilakukan orang tersebut hal yang baik sesuai etika dan akhlak atau tidak? Yang semua orang lakukan cenderung kita anggap sesuatu yang baik.

"Mending aku sendirian, gag punya teman, daripada punya teman tapi membuatku hancur. Apa kamu yakin suatu saat teman yang kamu ikuti itu mau membantu saat kamu kena masalah? Mereka itu cuma mau seneng-senengna aja."

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda setuju dengan komentar Edho?